Bernegara Harus Berkonstitusi, Pertanahan Dasarnya Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 jo.UUPA No.5 Thn 1960


(Menyambut Tahun Emas HUT UUPA Tanggal 24 September 2010)
 
               Pilar keberadaan suatu Negara yaitu adanya Wilayah (tanah), Rakyat (penduduk) dan Pemerintahan. Tanah dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) didefinisikan kulit bumi termasuk yang diatas dan dibawahnya sepanjang berkaitan dengan penggunaannya. Dengan berjalannya waktu hingga mencapai tahun emas HUT  UUPA seharusnya bernilai tinggi emas tersebut akan tetapi dilapangan yang ditemukan loyang yang disepuh emas bukan emas asli, apalagi setelah membuka internet beralamat http://ffakta.blogspot.com/2010/08/dibalik-hebatnya-laporan-kepala-bpn-ri.html, pencitraan penuh dengan kebohongan publik. Sebenarnya sebelum program tersebut diluncurkan, pengelolaan pertanahan di NKRI sudah Karut marut karena tidak konsisten dengan konstitusi yang telah ditetapkan.
               UUPA merubah mainset pengelolaan pertanahan era Penjajah Belanda ke era Pemerintahan NKRI yang merdeka, maka langkah awal dengan mencabut empat hal dan memberlakukan Hukum Adat yang disaneer karena keempat hal tersebut bertentangan dengan kesadaran hukum Rakyat Indonesia dan telah menyesuaikan dengan Azas dari Negara yang Merdeka dan Modern.                                                    
      Keempat hal yang dicabut tersebut adalah :
1.   Mencabut Agrarische Wet, artinya tidak memberlakukan lagi hukum tanah negeri jajahan dengan konsekwensi tidak lagi memberlakukan bukti hak lama. UUPA menuntut hak baru yaitu Hak Permanen dan Hak Non Permanen, saat ini merupakan hak milik peralihan yang bersifat sementara karena hanya merupakan konversi hak lama. (lihat Pasal 52 ayat 1 dan 2 UUPA).
2.  Domeinverklaring, artinya semua tanah adalah milik Negara (saat itu Penjajah Belanda) dan Bumiputra (Inlander) hanya sebagai penggarap. UUPA menyatakan bahwa tanah yang berupa kulit bumi merupakan karunia Tuhan kepada Bangsa Indonesia bersifat Abadi,  semua tanah di NKRI adalah Hak Milik (Permanen dan Abadi) Bangsa Indonesia. Negara sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat (Bangsa Indonesia) bertindak selaku Badan Penguasa sehingga Negara bukan pemilik tanah tetapi menguasai dalam arti mengatur pemilikan tanah dan memimpin penggunaan tanahnya, hingga semua tanah-tanah diseluruh Wilayah Kedaulatan Bangsa dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik secara perorangan maupun secara gotong royong.
3.  Koninklijk Besluit, artinya hanya Bangsa Eropa yang boleh mempunyai Hak Milik (Egendom Rech), bangsa lainnya dapat memiliki egendom harus dengan besluit dari Negeri Belanda yang dipersamakan sebagai Bangsa Eropa. Sehingga hanya Raja-Raja, golongan Ningrat dan Timur Asing  yang bisa mendapatkan besluit tersebut, tidak untuk Bumiputra biasa. UUPA hanya memberikan Hak Milik Permanen Tidak Abadi kepada Warga Negara Indonesia, tidak abadi dimaksudkan kalau diperlukan untuk kepentingan umum harus dilepaskan dengan ganti rugi tunai dan nyata ataupun realokasi.
4.  Buku II Kitab Undang-Undang Perdata Indonesia sepanjang yang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya, sebagai gantinya UUPA yang berdasarkan Hukum Adat yang disaneer. Karena telah dicabut maka akte tanah tidak lagi dikelola oleh Notaris tetapi oleh Pejabat Pembuat Akte Tanah (PPAT), untuk sementara karena kekurangan SDM maka PPAT dapat dirangkap oleh Notaris, Camat, ataupun Kepala Desa yang ditunjuk karena letaknya jauh dari kota Kabupaten. Kalau SDM PPAT Profesional telah mencukupi sudah saatnya jabatan Notaris dan PPAT dipisahkan dengan diberikan kebebasan memilih salah satu saja.

              Walaupun telah beberapa kali pergantian Presiden dan Kabinet sampai menjelang 50 tahun HUT UUPA, pengelolaan pertanahan belum dapat juga mengarah sebagaimana tujuan UUPA. Karut marut pengelolaan pertanahan sebagai akibat dari belum adanya UU Pertanahan, dilain pihak telah lahir UU Sektoral yang tidak mengacu pada UUPA berakibat disharmoni baik peraturan perundangan, kewenangan maupun  kelembagaannya tidak dalam satu manajemen pengelolaan pertanahan. Penyelundupan hukum terjadi pada kata tanah berubah wajah menjadi lapangan, wilayah, ruang, lahan, pesisir dan pantai yang kesemuanya bermakna sebagai wadah kegiatan, biarlah tanah diatur pengelolaannya oleh UU Pertanahan. UU Sektoral harusnya hanya mengurusi isi dari wadah tersebut supaya terjadi situasi dan kondisi harmonis pengelolaan pertanahan dalam satu manajemen.

               Disharmoni hukum dalam bukti kepemilikan juga terjadi di Pengadilan Negeri karena masih memberlakukan Hukum Perdata Barat (BW) dengan mengakuinya Hak Milik lama berdasarkan Agrarische Wet. Domeiverklaring diperlakukan lagi oleh UU Kehutanan sehingga mengakibatkan tidak adanya rasa keadilan, jaminan dan kepastian hukum pertanahan bagi rakyat kecil yang tidak berduit. Kondisi tersebut mengakibatkan maraknya Mafia tanah  yang akan memperkuat liberalisme di NKRI, padahal dasar konstitusi dan UUPA membangun masyarakat berdasarkan gotong royong dan kekeluargaan artinya yang kaya membantu yang miskin, monopoli bidang agraria dilarang kecuali dengan UU dan kepemilikan tanah berlebihan dibatasi, bukan berarti tidak boleh kaya hanya supaya tidak terlalu jauh jurang kemiskinan antara rakyat miskin dan golongan berada. Azas sama rata sama rasa tidak dikenal dalam Pancasila di NKRI.

               Dengan belum adanya UU Pertanahan telah terjadi ketidak adilan dengan melupakan Hak Milik Asal Tanah sebelum terbentuknya NKRI yaitu Masyarakat Adat. Seharusnya Masyarakat Adat yang masih eksis lembaganya, aturan hukum adat tentang tanah dan diakui oleh masyarakatnya maka harus diberikan Hak Milik Permanen Tidak Abadi, tidak sebagaimana seperti Keraton Jogjakarta yang terkatung-katung status kepemilikan tanahnya hingga saat ini. 

               Terjadinya ketidak adilan rakyat kecil pada Masyarakat Adat diluar Jawa yaitu tidak bisa lagi berburu dan meramu hutan ditanah hutan ulayat adatnya karena telah dilarang dan dijaga satpam perusahaan HPH maupun HGU, bisa dianggap kriminal dan dilaporkan ke Polisi. Lebih parah lagi bila tanah Masyarakat Adat terletak diareal Kawasan Hutan Kesepakatan maka  tanah pertanian maupun rumahnya tidak bisa diterbitkan Sertipikat Tanahnya oleh BPN karena dianggap merugikan negara dengan menghilangkan  Aset Negara sebagai Tindak Pidana Korupsi dalam UU Kehutanan dan UU Perbendaharaan Negara, padahal Domeiverklaring telah dicabut oleh UUPA. 

        Setelah berlakunya UUPA, seluruh wilayah NKRI termasuk tanah Kawasan Hutan menjadi Hak Milik Bangsa Indonesia maka harusnya memprioritaskan kepemilikan tanahnya kepada pemilik Hak Milik Asal sebelum NKRI terbentuk yaitu Masyarakat Adat, sehingga dapat dirasakan keadilan bagi rakyat kecil pada Masyarakat Adat sebagai pencerminan tanah NKRI merupakan wahana  kehidupan yang harmonis bagi kelestarian Bhineka Tunggal Ika.

               Memberikan Hak Milik Permanen Tidak Abadi pada Masyarakat Adat yang masih eksis adalah kewajiban Negara karena merupakan Hak Milik Asal sebelum terbentuknya NKRI. Dengan adanya Sumpah Pemuda, UUD 1945 dan UUPA maka tanah menjadi Hak Milik Permanen dan Abadi Masyarakat Adat Bangsa Indonesia bukan milik Negara, sehingga tanah tidak dapat diotonomikan kepada Pemerintah Daerah. Kalau taat azas berkonstitusi sebenarnya tidak boleh diberikan konsesi pada pihak asing kecuali untuk kesejahteraan Bangsa Indonesia dan penduduk lokal khususnya.

               Lebih menyedihkan lagi intern BPN belum membangun dan mempunyai data base bidang tanah, karena pada bidang tanah tersebutlah awal dimulainya kegiatan diatas tanah untuk kesejahteraan sosial dalam arti kemakmuran yang berkeadilan bagi rakyat dengan prinsip gotong-royong. Yang terjadi di BPN RI saat ini akibat kebijakan mutasi periodik setiap 9 – 12 bulan sekali berdampak rusaknya tim work pelayanan di kantor BPN, masing-masing aparat mencari rejeki sendiri-sendiri mengejar setoran agar tetap ditempat yang enak, tidak dimutasikan dari posisi mata air ke posisi air mata atau ingin dimutasikan dari posisi air mata ke posisi mata air. 

               Sejak lama beban kegiatan non dinas kantor (kesejahteraan aparat) dengan uang terima kasih dari pelayanan dikelola secara gotong-royong dan kekeluargaan, namun saat ini aparat BPN sudah individualistis karena pengaruh mutasi liberal mengejar setoran sehingga bukan uang terima kasih lagi yang diharap tetapi uang rekayasa dengan mempersulit pelayanan pertanahan yang ujung-ujungnya pemerasan/perampokan secara halus.

               Tulisan di internet dari LSM Fakta tersebut menambah corengan ditubuh BPN dengan kebohongan publik dan korupsi, kondisi tersebut menjadikan PNS BPN bertabiat  “Ngrekes dan Colong jupuk” (meminta dan mencuri-Jawa) serta terpaksa ikut melakukan “kebohongan publik” karena takut dengan pimpinan sehingga para PNS BPN yang berkelakuan ABS (Asal Bapak Senang) telah masuk menjadi keluarga/marga Cong atau Nga yaitu Cong Tai Pu atau Nga Fu Si (istilah plesetan diartikan Penipu atau Pembohong). 

               Sungguh amat berat beban Pimpinan BPN RI yang baru nantinya, karena harus bisa menegembalikan suara sinis diluaran yang dari rekan mitra kerja Notaris PPAT, BPN diartikan Bakal Penghuni Neraka sedangkan rekan dari Pengusaha Perumahan dan Kawasan Industri, BPN RI diartikan Badan Pemerasan / Perampokan Negara Rak Isin. 

               Posisi PNS BPN memang sulit, ibarat satu kaki disurga dan satu kaki lainnya dineraka atau satu kaki dirumah dan satu kaki lainnya dipenjara,  dikarenakan ruwetnya masalah hukum pertanahan yang belum ada kepastian hukumnya tergantung intepretasi Para Pejabat dan Mafia Tanah.              Namun kejadian tersebut hanyalah ulah beberapa oknum PNS BPN yang kurang  kuat imannya dan yang hanya ingin mempertahankan posisi mata air, sebenarnya PNS BPN yang  baik masih banyak.  Keadaan tersebut merupakan wabah menular yang juga terjadi dilembaga pemerintah lainnya sehingga timbul istilah Mafia Hukum, Rekening Gendut dan lain sebagainya. BPN tanpa berani menerima auto kritik dan instropeksi kedalam maka kejadian-kejadian tersebut akan terulang terus menerus yang berakibat merugikan rasa keadilan rakyat kecil dan keterpurukan bangsa yang berkepanjangan.

               Sebagai anak bangsa tidak boleh pesismis, harus optimis, medan juang yang kita hadapi adalah arena cobaan yang kita buat sendiri. Kalau kita lari maka keadaan akan semakin memburuk, kalau kita hadapi dengan ketabahan, kesabaran dan rasa syukur, kemajuan seta perbaikan pasti selalu menyertai kita. 

               Sebenarnya persoalan pokok bangsa kita adalah karena sering tidak taat azas, termasuk berkonstitusi tetapi sok pinter, padahal dilain pihak  tidak faham bernegara dan hanya mementingkan diri sendiri dan kelompoknya yang tercermin dari sikap para politisi, pengusaha dan pejabat karbitan, belum matang pemahaman berbangsa dan bernegara sehingga penampilan sebagai Negarawan tidak terlihat.

               Jabatan itu amnah, kearifan lokal menuturkan “Pangkat sampiran, bondo titipan, nyawa gaduhan kabeh mau kagungane  Gusti Allah SWT” yang artinya pangkat disampirkan dipundak, harta merupakan titipan, nyawa sebagai pinjaman, semua itu kepunyaan Allah SWT. Sehingga nanti bila telah kembali kepada Allah maka akan ditanya dalam waktu selama hidupnya,  pemberian umur dan ilmu yang diperoleh telah dipergunakan untuk apa, pemberian harta dan jabatan pertanyaannya selain dipergunakan untuk apa, juga ditanya bagaimana cara memperolehnya, selama diberi tugas sebagai khalifah dimuka bumi. 

               Dalam 50 tahun HUT UUPA di Tahun Emas ini, perkenankanlah sebagai anak bangsa menyampaikan pemikiran butir-butir yang perlu segera diatur dalam RUU Pertanahan sebagaimana terlampir. Semoga ada manfaatnya bagi Rakyat Kecil untuk memperoleh kemakmuran yang berkeadilan dan Kejayaan NKRI dengan Bangsa Indonesia yang Bermartabat. Seharusnya Negara dalam hal ini BPN RI berdasarkan konstitusi berkewajiban melindungi, mengayomi, melayani dan memimpin penggunaan tanahnya untuk kesejahteraan sosial Bangsa Indonesia serta menegakkan Hukum Pertanahan untuk kepentingan Bangsa dan Negara serta  menjadikan tanah sebagai perekat NKRI, sumber kemakmuran yang berkeadilan,  wahana kehidupan yang harmonis bagi kelestarian Bhineka Tunggal Ika dan berkontribusi terhadap pembangunan yang berkelanjutan.

               Dirgahayu 50 tahun HUT UUPA di Tahun Emas untuk  BPN RI dan semua Mitra Kerjanya. Rakyat Indonesia menunggu karyamu, segera wujudkan tanah-tanah di NKRI harus dapat mewujudkan kemakmuran yang berkeadilan baik secara perorangan maupun gotong royong. Selamat berjuang.

Jakarta, 27 Agustus 2010
Bambang Sulistyo Widjanarko


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

0 Response to "Bernegara Harus Berkonstitusi, Pertanahan Dasarnya Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 jo.UUPA No.5 Thn 1960"

Posting Komentar