Carut Marut Pertanahan Picu Disintegrasi Bangsa

Tanah sebagai modal utama kemerdekaan NKRI haruslah dikelola dengan baik sebagai amanah Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yo UU no 5 th 1960 tentang UUPA mendefinisikan tanah sebagai kulit bumi termasuk yang diatas maupun dibawahnya sepanjang berhubungan dengan penggunaannya. Tanah dimaksud berupa wilayah dan sumber – sumber agraria yang mengamanatkan pada Negara untuk mengatur pemilikannya dan memimpin penggunaannya bagi tanah2 diwilayah kedaulatan untuk kemakmuran yang berkeadilan baik secara perorangan maupun ber-sama2. Jadi pada Tata Pemerintahan Yang Baik haruslah dibedakan antara urusan wadah/tempat/tanah/wilayah dengan isi/kegiatan/sektoral sehingga urusannya tidak tumpang tindih. Wilayah (Tanah), Rakyat dan Pemerintah merupakan pilar keberadaan Negara dan Tanah sebagai pilar yang strategis haruslah tertib administrasi dalam pengelolaannya, sehingga antara Tertib Pertanahan dan Tertib Kependudukan terintegrasi dengan baik akan menghasilkan Tertib Pemerintahan (Pemerintahan Yang Baik).

Setelah lebih dari 49 tahun UUPA berjalan, Presiden berganti Presiden, Kabinet berganti Kabinet, ruang lingkup tanah dan artian wilayah menjadi semakin sempit hingga tinggal permukaan daratan saja. Dalam kenyataannya BPN yang seharusnya mengurusi tanah (wilayah), hanya mengurusi Sertipikat Tanah, itupun tidak optimal sebagaimana perintah konstitusi dan UU. Kehutanan yang seharusnya mengurusi tegakan pohon untuk hutan juga mengurusi tanah yang berdampak korupsi pada pelepasan kawasan hutan. PU yang tupoksinya konstruksi bangunan juga ngurusi tanah (ruang), dlsb termasuk sektor lainnya dengan wajah lain berupa kawasan, lahan, pantai dan pesisir bahkan laut. Keadaan tersebut menampakkan adanya disharmoni mulai dari UU dibawah UUPA hingga disharmoni koordinasi pelaksanaannya. Fakta dapat disaksikan bahwa terjadi pemborosan yang desertai ketidakoptimalan pengelolaan sumber2 agraria sebagai akibat tidak ada integrasi dan kecermatan dalam penggunaan dan pemanfaatannya. Jumlah pulau dan jumlah bidang tanah hingga saat ini belum diketahui kecuali kira2 saja, karena belum ada Lembaga Negara yang memadai dalam pengelolaannya.

Ketidaktertiban administrasi pertanahan dan kekurang pahaman terhadap Hukum Agraria mengakibatkan tumpang tindih kewenangan pengelolaan pertanahan, tidak terkontrolnya pembatasan pemilikan tanah, sertipikat tanah dobel, maraknya mafia tanah dalam pembebasan tanah untuk infrastruktur, mafia sengketa tanah yang berakhir dengan pembangunan Mall, Apartemen dan Resort, kasus pemahaman pemilikan properti WNA, penyerobotan tanah, meluasnya tanah terlantar, tanah longsor, banjir, pengusuran penghunian, bangunan, penggarapan, PKL , penggusuran masyarakat adat dalam kawasan hutan, illegal logging, manning dan fishing yang menimbulkan korupsi,ketidak adilan dan kemiskinan yang berlanjut dapat memicu disintegrasi bangsa.

Perlunya penataan kembali disharmoni kewenangan pengelolaan pertanahan dan sumber2 agraria pada tata kelola pemerintahan terintegrasi kedalam satu lembaga, yang sekaligus memperkuat dan memberdayakan BPN yang telah di”bonsai” sejak tahun 1967. Penataan tersebut berdasarkan amanah konstitusi Ps 33 ay 3 UUD 1945 yo UU no 5 tahun 1960.

Solusi selanjutnya :

1. Membuat “Land Development Rules” dengan menyusun UU Pertanahan berdasarkan Hukum Adat yang telah disaneer karena UUPA mencabut UU Perdata Barat yang menyangkut tanah sehingga konsekwensinya pembuatan akte tanah tidak lagi dibuat oleh Notaris tetapi PPAT. Konsekwensi lainnya berdasarkan Hukum Adat yaitu UUPA mencabut Domein Verklaring sehingga tanah NKRI bukan milik Negara tetapi menjadi milik Bangsa Indonesia. Negara hanya menguasai dalam arti mengatur pemilikannya dan memimpin penggunaannya, sehingga hanya WNI yang berhak HM atas tanah sedangkan WNA dapat memiliki tanah dengan hak - hak lainnya yang bersifat berupa Hak Non Permanen. Masyarakat adat yang masih eksis keberadaannya diberikan hak atas tanah khusus yang bisa mengatur rumah tangga sendiri yang diatas tanah tersebut dapat dilekati hak derivatnya yaitu Hak Non Permanen. Sehingga ada beberapa hak atas tanah yaitu:
  • Hak Milik (Hak Permanen Abadi-HPA) Bangsa Indonesia dikuasai Negara dikelola BPN;
  • Hak Milik (Hak Permanen Tidak Abadi-HPTA) Masyarakat Adat sepanjang ada keberadaannya;
  • Hak Milik (Hak Permanen Tidak Abadi-HPTA) Perorangan WNI sepanjang sesuai dengan ketentuan penggunaan tanahnya, 
  • Hak Milik(Hak Non Permanen-HNP) Perorangan, Badan Hukum, dengan pembatasan jangka waktu,
  • Hak Milik(HNP) Pemerintah, selama dipergunakan;

    2. Menggerakkan “Community Empowerment Development” dengan gerakan penyadaran masyarakat akan catur tertib pertanahan (wilayah) yaitu Tertib Administrasi Pertanahan, Tertib Hukum Pertanahan, Tertib Penggunaan Tanah dan Tertib Pemeliharaan Tanah Dan Lingkungan Hidup. Bentuknya berupa Manajemen Pertanahan Berbasis Masyarakat (MPBM), pengembangan Pokmasdartibnah (Kelompok Masyarakat Sadar Tertib Pertanahan) dengan kegiatan awal membuat “data base bidang tanah” di Desa/Kel, personilnya swadaya masyarakat yang dipilih melalui rembug desa 4 pemuda/i untuk tim pengumpul data dan 5 tetua desa untuk tim verifikasi. Hasilnya akan diketahui jumlah bidang tanah dan batasnya serta batas administrasi Desa/Kel yang berupa “database pertanahan” di Desa/Kel ybs dengan back up data di BPN Kab/Kota sebagai pusat data Pertanahan/Agraria. Pembinaan MPBM oleh BPN Kab/Kota dan Pemda Kab/Kota setempat. Di Jateng telah dilakukan uji coba di 35 Desa/Kel di 35 Kab/Kota tahun 2006 dan 1 Kec di Kab. Jepara tahun 2007 dana APBN BPN dengan payung hukum SE Gub. Jateng No.593/06844 tgl 26 April 2006, No.180/00410 tgl 18 Jan 2007, No.593/23571 tgl 28 Des 2007 dan SE KKW BPN Jateng No.400/18/33/2008, No.600/17/33/2008 tgl 3 Jan 2008;

    3. Penulisan di Sertipikat Tanah tentang Penggunaan tanah dan pembatasan2nya serta sangsi hukum pelanggaran terhadap maksud dan tujuan pemberian/penegasan hak atas tanahnya dari Tanah Milik Bangsa Indonesia yaitu berupa pencabutan hak sebagai mana kembali menjadi Tanah Adat Milik Bangsa Indonesia, sebagai konsekwensi Sumpah Pemuda dan Hukum Agraria/Pertanahan berdasarkan Hukum Adat. Penulisan tersebut agar diketahui para subyek dan masyarakat supaya tercapai optimalisasi penggunaan dan pemanfaatan tanahnya serta harmoni terhadap lingkungan hidup sebagai rasa syukur Bangsa Indonesia terhadap karunia Tuhan YME;

    4. Adanya Lembaga Peradilan Khusus Pertanahan/Agraria yang mendasarkan Hukum Adat yang telah disaneer terhadap sengketa2 tanah dan sengketa landreform karena Peradilan Umum mendasarkan Hukum Perdata Barat terhadap tanah;

    5.  Membentuk PPNS Pertanahan;

    6.  Membangun Laboratorium Forensik Warkah dan Peta Pertanahan;

    7. Menempatkan Pimpinan BPN yang profesional, pernah dibirokrat, mempunyai dedikasi tinggi dan berinovasi;

    8. Menempatkan Penilik Pertanahan/Agraria di Kecamatan dengan tugas membina pemberdayaan masyarakat dalam Catur Tertib di Desa/Kel dan supervisi pemeliharaan data pertanahan pada MPBM;

    9. Di Pusat membentuk Dewan Reforma Agraria Nasional (DRAN) bersifat konsultasi dan koordinasi bagi Kepala Negara yang diketuai oleh Presiden selaku Kepala Pemerintahan, Ketua Harian Ka BPN RI, sekretaris Dirjen Pemerintahan Umum, anggota Departemen Teknis pengelola sumber2 agraria, meliputi Kehutanan, Kelautan dan Perikanan, Pertanian, PU, Pariwisata, Pertambangan dan Energi, Bappenas, Diknas (situs Arkeologi). Demikian juga di Provinsi (DRAP) dan Kabupaten/Kota (DRAK). Pengintegrasian kelembagaan dan kewenangan di Pusat dapat dilakukan Ditjen Tata Ruang PU dengan Deputi Pengaturan dan Penataan Pertanahan BPN dilebur menjadi satu lembaga di BPN RI pada waktu mendatang;

    Argumentasi Filosofi.
    Sejak keberadaan diciptakan hingga episode ruang dan waktu menuju tidak ada, hingga kini manusia telah ber-kali2 berubah peradabannya, walaupun demikian unsur dasar manusia tidak pernah berubah yaitu tanah, kalau mati kembali tetap saja ke tanah, penyebab matipun karena tanah dan bagaimana manusia matipun tergantung bagaimana tanah dikelola. Manusia dan tanah diciptakan dalam satu paket penciptaan, bersifat sementara, sebagai sarana belajar mengenal jati diri dalam permainan ruang dan waktu menuju keabadian.
    Jika pengelolaan tanah main2 atau setengah hati, atau tidak ada kesungguhan dan ketulusan hati, maka tanahpun memberi kontribusi pada kesejahteraan dan kebahagian manusianya juga setengah2, karena kurang proporsional menghargai Pencipta NYA, tidak besyukur secara nyata dalam perbuatan kepada NYA, sekalipun berucap sebaliknya.

    Tanah adalah teman sekaligus nahkoda bagi manusia untuk hidup dan mati dalam kerangka belajar menemukan jati diri, bagi Bangsa Indonesia yaitu NKRI yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pada hakekatnya yang diperlukan oleh tanah NKRI dari manusia (Bangsa Indonesia) untuk dapat terjalin sandiwara ruang dan waktu yang harmonis bukan retorika dan lamunan, tetapi tindakan nyata tanpa pamrih, mengelola tanah benar2 berdasarkan Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 yo UU no 5 tahun 1960 yaitu UUPA.

    Lagu “Ilir-Ilir” Sunan Kalijaga harus dihayati semua Penyelenggara Negara untuk membersihkan budi pekerti Penyelenggara Negara, khususnya aparat Pertanahan, Penegak Hukum dan Pelayanan Masyarakat.

    Bambang S. Widjanarko, Ir, MSP.
    Pemerhati Pertanahan/Agraria.

    • Digg
    • Del.icio.us
    • StumbleUpon
    • Reddit
    • Twitter
    • RSS

    0 Response to "Carut Marut Pertanahan Picu Disintegrasi Bangsa"

    Posting Komentar