Menajemen Pertanahan dan Susunan Kelembagaan Dalam Era Otonomi Daerah


Latar Belakang

Dalam perjalanan menjabarkan Pasal 33 (landasan Administrasi Pertanahan) dan Pasal 18 (landasan Administrasi Pemerintahan Dalam Negeri) UUD 1945 kedalam Undang-Undang telah terjadi proses pembelajaran yang cukup jelas adanya sinyal-sinyal yang dapat diikuti untuk dikembangkan, tetapi yang berkembang justru mengarah kepada penyimpangan dari apa yang dikonsepsionalkan berdasarkan UUD 1945.

Pembangunan dan pengembangan Administrasi Pemerintahan Dalam Negeri atas dasar Pasal 18 UUD 1945 telah mengalami proses pengembangan sebagaimana UU No. 18 Tahun 1965, UU No. 5 Tahun 1974, UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004. Sedangkan pembangunan dan pengembangan Administrasi Pertanahan berlandaskan Pasal 33 ayat (3) telah mengalami pengembangan sebagaimana Undang-Undang Pokok Agraria UU No. 5 Tahun 1960 dan UU cabang-cabangnya meliputi UU tentang Kehutanan, Pertambangan dan Pengairan, UU Penataan Ruang, UU pengelolaan sumber daya alam dan hayati.

Berbagai Undang-Undang telah ditetapkan yang sumbernya dari kedua pasal UUD 1945 tersebut. Berbagai sistem dan susunan kelembagaan ikut dikembangkan sebagai konsekwensi adanya perubahan dan pembaruan Undang-Undang.

Apakah kelembagaan pemerintah sudah cukup berhasil mengemban tanggung jawab sebagaimana yang digariskan pada pasal 18 dan 33 UUD 1945?. Pemahaman terhadap masalah ini kajian singkat beberapa program perlu dilakukan. Sebagaimana fakta yang berlangsung bahwa exploitasi sumber daya alam Indonesia telah berlangsung puluhan tahun, telah menimbulkan dampak kerusakan lingkungan yang cukup signifikan sementara jumlah relatif orang miskin belum berkurang secara signifikan,  sedangkan program-program konservasi dan rehabilitasi masih  menyisakan tanah-tanah yang harus dikonservasikan tetapi saat ini justru dibudidayakan cukup intensif (tanah tegalan dengan kemiringan curam sampai terjal), keadaan demikian menunjukkan masih belum tepatnya strategi di dalam mewujudkan tujuan atau sasaran pasal 33 ayat 3 UUD 1945, termasuk juga mencerminkan masih belum tepatnya di dalam menyusun kelembagaan yang berkaitan dengan tata administrasi pertanahan bersingkronisasi dengan tata administrasi pemerintahan dalam negeri.

Pembangunan kelembagaan pertanahan sejak Undang Nomor 5 Tahun 1960 mengalami pasang surut. Fusi antara yang menangani hak (hukum), pendaftaran tanah (kadastral), penggunaan tanah (land use) dan penguasaan tanah (landreform) dalam satu atap Direktorat Jendral Agraria Departemen Dalam Negeri adalah upaya menyatukan agar dapat dikelola secara utuh penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (P4T) secara terintergrasi. Pengelola P4T kemudian tidak mampu mewujudkan tanggung jawabnya jika administrasi pertanahan berada di bawah administrasi pemerintahan dalam negeri oleh karena terdapat kekususan tanggung jawab yaitu menyangkut kontribusi administrasi pertanahan (P4T) terhadap kemakmuran dan keadilan bagi seluruh rakyat NKRI pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

Dengan pengalaman tersebut terbentuklah Badan Pertanahan Nasional yang berasal dari Direktorat Jendral Agraria Departemen Dalam Negeri. Setelah berbentuk BPN dan saat ini BPN RI, lembaga yang mengelola administrasi pertanahan seluruh wilayah NKRI. BPN RI memiliki Kanwil BPN di tingkat Provinsi dan Kantor Pertanahan di tingkat Kabupaten/Kota adalah perangkat pemerintah pusat yang ada di daerah. Kewenangan pemberian hak atas tanah dan pendaftarannya sudah didesentralisir kepada Kantor Pertanahan bukan ke Pemerinatah Daerah. Sedangkan sebagian dari urusan pertanahan meliputi sembilan kegiatan telah didesentralisir kepada Pemerintah Daerah sebagaimana Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 yo UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Otonomi yang dikembangkan dari aspek pemerinatahan dalam negeri sebagaimana yang bersumber pada pasal 18 UUD 1945, mengisyaratkan agar Kantor Pertanahan dan Kanwil BPN menjadi perangkat daerah atau manajemen pertanahan di otonomikan. Hal ini dapat disimak conotoh di beberapa daerah telah membentuk Dinas Pertanahan. Pemerintahan Aceh (Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006, pasal 213, 214 dan 253) merupakan fakta bahwa dalam pengembangan kelembagaan pertanahan mengalami tarik menarik dan kurang dapat diperhatikan pesan UUD 1945 yo. UUPA secara utuh.


Masalah

Dengan demikian telah terjadi keraguan dan ketidak konsistenan dalam mengembangkan kelembagaan administrasi pertanahan di Indonesia.

Analisis Masalah

Kondisi yang ada saat ini bahwa pengembangan kelembagaan yang terkait dengan  pelayanan masyarakat, pengembangan kelembagaannya dapat menempuh azas desentralisasi (seperti IMB, KTP, SIM, STNK dll) maupun azas sentralisasi (perangko, meterai, sertipikat tanah, paspor dan akte nikah).

Masalah tanah berkaitan dengan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatannya selalu menyangkut substansi multi aspek. Sangat berbeda dengan kempemilikan benda bergerak, yakni terkait dengan masalah kedaulatan Bangsa dan Negara, perwujudan rasa keadilan bagi seluruh masyarakat, sehingga administrasi penguasaan dan pemilikan tanah lebih tepat ditangani pemerintah pusat dengan susunan kelembagaan hingga ke daerah menempuh azas `dekosentrasi.

Jika Pertanahan otonomi, orang Madura tidak boleh memiliki tanah di Kalimantan, orang Jawa tidak bisa memiliki tanah di Sumatera. Galian C luasan kurang dari 1 Ha dari sebuah pulau terluar NKRI ditambang hingga tenggelam hanya karena peningkatan penghasilan asli daerah mengakibatkan batas negara tetangga melebar/mencaplok ke wilayah NKRI (kasus Pulau Nipah dengan Singapura), pegawai otonomi pertanahan putra daerah tentu akan merasa benar jika tanah-tanah yang telah dikuasai bukan putra daerah ganti saja sertipikatnya untuk keluarganya, atau permohonan pertanahan bukan putra daerah akan dicari-cari kekurangannya dengan pertimbangan ini adalah otonomi. Seorang Bupati/Walikota dan ketua DPRD yang disegani oleh masyarakat setempat (yang dipilih umumnya putra daerah karena otonomi) tentu sangat mendukung pegawai BPN putra daerah yang berpihak pada otonomi.

Sertipikat tanah tidak cukup hanya dipandang sebagai produk pelayanan masyarakat. Fungsi sertipikat tanah sesungguhnya lebih berfungsi sebagai alat kendali bagi manajemen P4T hingga terkondisikan rasa keadilan dalam pemilikan dan penguasaan tanah dengan penggunaan dan pemanfaatan tanah sedemikian rupa agar terwujud sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Kesimpulan

Apabila Kantor Pertanahan dan Kanwil BPN dijadikan perangkat daerah maka operasional manajemen pertanahan sangat dipengaruhi oleh kepentingan daerah sekalipun kriteria yang menjadi acuan operasional di tetapkan oleh Pemerintah Pusat.

Produk pelayanan pertanahan bukan produk pelayanan masyarakat yang umum kita kenal seperti SIM, KTP, Paspor dan Akta Nikah, sertipikat tanah merupakan alat kendali bagi Pemerintah agar manajemen administrasi pertanahan menjamin terwujudnya rasa keadilan dalam menguasai dan memiliki tanah dengan penggunaan dan pemanfaatan tanah yang menjamin mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat NKRI.

Saran

Jika NKRI tetap dijadikan komitmen Bangsa dan Negara, sebaiknya pengelolaan administrasi pertanahan ditangani oleh Pemerintah Pusat, sehingga upaya mengubah status Kantor Pertanahan menjadi perangkat daerah sebaiknya dibatalkan. Otonomi pertanahan akan mengganggu keutuhan NKRI.

Agar kinerja BPN menjadi lebih mampu mengefektifkan dan mengefesienkan penyelenggaraan pemerintahan dalam negeri, BPN disamping sudah saatnya menjadi kementrian, juga mutklak memerlukan lembaga perpajangan hingga desa yaitu  lembaga yang menangani penatausahaan data bidang tanah dan pemanfaatannya secara swadaya, swakarya dan swadana serta multiguna yaitu dengan mengembangkan Manajemen Pertanahan Berbasis Masyarakat (MPBM) sebagaimana yang dikembangkan di jawa Tengah (baru taraf mulai pengembangan di seluruh desa-desa di Jawa Tengah).

Setelah beroperasinya MPBM di desa dan di tingkat Pusat menjadi kementrian maka baru lembaga BPN mampu mengawasi daun jatuh di atas sebidang tanah.

Jika keutuhan NKRI tetap agar terjaga, maka tidak tepat jika Kantor Pertanahan dan Kanwil BPN diserahkan kepada Pemerintah Daerah menjadi perangkat otonom.  


Bambang S. Widjanarko,

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

0 Response to "Menajemen Pertanahan dan Susunan Kelembagaan Dalam Era Otonomi Daerah"

Posting Komentar